Kau langit yang tak mungkin tersentuh oleh gapaian tanganku
Di sini, bumi, tempatku berpijak
Hanya berandai-andai setiap menatapmu
Kau yang jauh di sana
Akankah bisa bersatu?
Nya, lihatlah ke blkg…
Mendapati Short Message Service yang baru dibukanya, Anya membalikkan
badannya, mencari sosok yang mengirimi pesan tersebut kepadanya. Sebuah
blitz seketika menimpa wajahnya, silau. Terlihat senyum simpul yang
mengembang dalam wajah di balik kamera digital yang baru saja membidik.
Dasar Benny. Anya menimpalinya dengan senyuman manis.
“Ayo, bergayalah.” Benny Mengangkat kameranya siap memotret kembali.
Malu-malu, Anya dalam balutan seragam abu-abu putihnya mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
“Ben, aku juga mau donk.”
Seorang gadis lain datang langsung berpose di depan Benny, membelakangi bangku Anya.
“Tapi bukan di sini. Di luar, lebih bagus pencahayaannya.”
Benny mengangkat bahunya. “Baiklah. Fani”. Dia bangkit dari bangkunya
menyusul Fani yang berjalan dahulu. Tangannya melambai saat melewati
bangku Anya. Keduanya menghilang di balik pintu.
Terdengar suara pintu yang tergeser, diikuti derap langkah kaki-kaki memasuki toilet. Riuh suara gadis-gadis itu.
“Sudah kubilang kan, produk itu tidak cocok denganmu. Lihat, wajahmu sekarang.” Seru gadis dengan suara manja.
“Ah, mana kutahu. Tante Mega yang memberiku cuma-cuma, siapa yang tak
mau. Lagian kau tahu sendiri kan bagaimana aku ingin terlihat putih dan
bersih.” Timpal gadis lain bersuara cempreng.
“Lain kali, turuti ucapanku. Begitukan hasilnya?”
Sesaat sunyi senyap. Menyisakan suara gemericik air.
“Hmm… aku sangat iri dengannya.” Gadis cempreng itu berkata.
“Siapa?”
“Kau tahu sendiri, gadis tercantik di SMA ini, kalau bukan Fani.”
“Kau benar, ia betul-betul cewek idaman. Cantik, kaya, pintar, ketua
pemandu sorak dan seorang model pula. Ahh, mengapa semua kesempurnaan
Tuhan berikan kepadanya.”
“Tapi, Tuhan adil.” Kali, gadis lain nimbrung bicara. Suaranya tenang
berbeda dengan kedua lainnya. “Soal cinta, ternyata Fani masih belum
berhasil mendapatkan hati Benny.”
Seseorang menggerutu, suaranya cempreng.
“Bagaimana berhasil, jika gadis jelek itu selalu di samping Benny. Apa
sih spesialnya dia? Sampai-sampai si tampan itu juga mendekatinya. Aku
rela, dia bersanding dengan Fani. Tapi dengan Anya, aku sangat tidak
terima.”
“Aku sendiri juga tidak mengerti. Apa sih yang dilihat darinya. Pendek,
berkacamata, dan kucir kudanya yang selalu bikin aku tidak nyaman tiap
melihatnya.” Ujar gadis centil.
Tiba-tiba bel berdering. Percakapan mereka terhenti. Pelajaran selanjutnya akan dimulai.
Pintu toilet kembali tergeser, gadis-gadis itu keluar dengan suara
riuhnya kembali. Tertutup kembali. Sepi. Meninggalkan suara tetes air
yang mengalir dari kran wastafel yang tidak sepenuhnya tertutup rapat.
Dari ujung kamar toilet, terdengar suara air yang terbilas. Pintunya
terbuka. Seorang gadis keluar. Kacamata yang selalu bertengger di atas
hidungnya, dilepasnya. Matanya menatap bayangannya sendiri dalam cermin
panjang yang mengisi sepanjang dinding.
“Kurasa benar” dia mendesah.
Tiba-tiba terdengar lagu Mata Aimashou- Seamo. Anya segera mengambil ponsel genggamnya, ada SMS masuk. Segera dibukanya.
Pastikan kau datang ya. Sebentar lagi akan datang kiriman. Ku harap
kau memakainya nanti. Aku akan senang melihatmu di sana. Sampai ketemu.
Let’s party.
Anya melepaskan tatapannya dari layar laptop di hadapannya. Matanya
menerawang ke jendela. Korden putih yang menghiasi jendela itu
bergerak-gerak terhembus angin, membuka cakrawala di luar. Langit
terlihat cerah, biru menenangkan. Menyeduhkan mata yang memandang. Namun
bagi Anya. langit siang itu mendung. Saat ini dunianya berkubang dalam
kegalauan.
Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana, Ben? Kalau kau terus begini, kau membuatku tidak nyaman…
Seharian HP-nya sudah puluhan penuh SMS dan miss-called Benny.
Menyerah akhirnya Anya memutuskan untuk datang. Kurasa semuanya akan
baik-baik saja. Aku cuma cukup datang dan setelah itu pergi.
“Anya.” Suara itu memanggilnya.
Anya menoleh, melihat seseorang dalam balutan jas putih berjalan
menerobos kerumunan ke arahnya. Kafe besar itu ramai, bukan karena para
pengunjung yang ingin menikmati secangkir kopi atau steak daging domba,
namun oleh para remaja yang mengobrol riuh dalam pesta ulang tahun.
Suara musik mengalun dalam keindahan sang malam.
Anya menahan napasnya sejenak. Lalu perlahan-lahan ia mengembuskannya ketika Benny datang menghampiri.
“Aku tahu, kau pasti datang.” Senyum Benny lebar.
“Kau benar-benar cantik sekali malam ini, Anya.”
Tiba-tiba seseorang berseru memanggil Benny. Mereka menoleh. Di seberang
ruangan, seseorang melambai. Benny membalas dengan lambaiannya
tangannya pula. Lalu beralih menatap Anya.
“Kau tak apa, kutinggal sebentar.”
Anya menggangguk. “Baiklah.”
Setelah melihat sosok Benny menghilang di antara kerumunan orang-orang, Anya berjalan ke arah meja yang berisi banyak kudapan.
“Hei, Anya,” sapa Nita dengan suara cemprengnya saat Anya berdiri
mengambil salah satu kue dengan pinggiran krim untuk dimakannya.
Anya menoleh. Geng tiga cewek yang menyebut diri mereka, wondergelis, muncul di hadapannya.
“Woo, lihat si bebek buruk rupa malam ini seperti angsa putih.”
Terdengar suara “wuuu” mengekor dari dua cewek lainnya. Ketiganya seakan
senang. namun Anya tak menghiraukan. Ia memilih mengisi piringnya
dengan kue-kue. Daripada menanggapi ocehannya, lebih baik mengisi perut
yang kelaparan sedari sore.
“Namun sayangnya sang pangeran tidak tertarik padanya. Dia lebih memilih bicara dengan putri yang sejati.”
Kali ini, Anya menghiraukan. Mata Anya dilayangkan ke seberang ruangan. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Sesak.
“Serasi sekali mereka. Si tampan Benny dan si cantik Fina” Sanjung Feli, dengan suara yang terkesan manjanya.
“Kau tahu, langit sangat jauh dengan bumi. Biarkan ia bersanding dekat
dengan sang bintang yang berkilau. Itu akan terlihat sangat cantik.
Jadi, kuharap menyingkirlah kau”.
Nita menyunggingkan senyum sini, “Sangat mudah seperti angin… fiuuuhhh.” Tangannya mengibas kasar mengarah ke piring Anya.
“Ups, aku tidak sengaja.” Nita mengalihkan pandangannya ke arah lain, seakan tak berdosa. Gaun Anya kini pun penuh noda krim.
“Itu memang pantas bagimu.” Sambung Nita.
Suara tawa ketiganya membahana.
“Kau sungguh memalukan, Nita.”
Benny berseru, dia berjalan cepat menghampiri mereka.
“Kukira ku sudah berubah, tapi tidak. Aku tahu kau yang menyebar gossip itu. Aku tak suka kau mengejek Anya.”
“Tapi, Ben. Aku tak suka dia selalu berada di sisimu.”
“Itu menurutmu, tapi aku mencintainya.”
Mata Nita terbelalak. Tak percaya. Feli dan Reta –cewek satunya-. Seluruh ruangan hening. Tak ada percakapan.
Benny langsung mengandeng Anya. Membawanya keluar dari pesta.
Di luar udara berhembus dingin. Tiada suara. Hening.
“Maafkan mereka.” Benny membuka mulutnya.
Anya menunduk. Kepalanya menggeleng.
“Mereka tak salah, aku yang salah memposisikan diri. Dari awal seharusnya aku tak di sini.”
Anya tak berani menatap Benny. “Maafkan aku,” Kakinya melangkah pergi.
Tiba-tiba tangan Benny memegang siku Anya, menahannya untuk tidak pergi.
“Ini juga berat bagiku. Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.”
Kaki Anya tertahan. Napasnya tercekat kembali.
“Kau tak perlu sempurna. Adanya kau, sudah melengkapi hidupku. Apa yang
kukatakan tadi di dalam, tulus. Maafkan aku yang selama ini tidak tegas
dalam hubungan ini. Aku sungguh mencintaimu, Anya”.
Malam itu langit terlihat cerah disinari rembulan. Bersih tanpa
bintang-bintang yang berkelip menghiasinya seperti malam-malam
sebelumnya. Menjadi saksi akan dua insan remaja berpelukan, mengikat
kasih. Tanpa perbedaan di antaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar