Bagiku, persahabatan itu indah. Karena sahabat bisa membuat kita
merasakan senang, tertawa, bersedih, marah, jengkel, dan lain lain.
Dan itulah yang terjadi padaku. Aku mempunyai seorang sahabat,
namanya Dina. Kami selalu tertawa riang bersama. Hingga pada suatu hari
Dina menjauhi dan melupakanku. Entah kenapa sejak aku sering membuatnya
jengkel, ia pergi. Mencari teman penggantiku. Mungkin ia merasa sakit
hati padaku. Aku sedih dan menyesal. Aku ingin minta maaf padanya, tapi
aku malu. Karena telah menyakiti perasaannya.
Karena peristiwa itulah, persahabatanku dan Dina pun menjadi
renggang. Bahkan, senyum pun tak pernah dilemparkan saat kami bertemu.
Melihat situasi yang sudah sangat parah ini, aku pun bertekad ingin
mengucapkan maaf secara langsung kepadanya. Tak kupedulikan lagi rasa
malu dan bersalah itu. Aku pergi ke rumahnya, dan berharap ia bisa
menerima dan memaafkanku. kuketuk pintu rumahnya. Tapi, setelah pintu
dibuka. Kulihat Dina berdiri dengan wajah yang cemberut, ke arahku.
“Hai, Dina. Lama kita tak berbicara. Bagaimana kabarmu?” tanyaku penuh harap cemas.
“Tenanglah, aku baik tanpa kamu. Sebenarnya apa maksud kedatanganmu ke
sini? Tapi maaf, kalau soal kesalahanmu yang dulu itu, aku belum bisa
memaafkan!”
“Tapi…”, belum aku menjelaskan sesuatu halpun, Dina langsung menutup pintu dengan kerasnya.
Aku langsung pulang ke rumah. Takut nanti Dina tambah marah kepadaku
kalau aku masih tetap berdiri di depan rumahnya. Aku telah gagal membuat
hubungan kami menjadi baik kembali. Aku pun hampir putus asa. Mungkin
tak ada jalan lain lagi. Aku dan Dina mungkin sudah ditakdirkan untuk
tidak bersama.
Hari demi hari pun berganti. Tak terasa, aku dan Dina tidak pernah
lagi berpapasan apalagi bercakap-cakap. Hidupku tambah suram saja.
Hari itu, kebetulan aku sedang bersepeda untuk pulang ke rumah
melintasi jalan yang menuju ke rumahku. Tiba-tiba, sayup-sayup kudengar
orang meminta tolong.
“Tolong… Tolong…!”
Langsung kudekati arah suara itu. Saat kudekati ternyata itu adalah
Dina yang terjatuh dari sepedanya. Kakinya terkilir dan luka. Lalu
langsung kubantu berdiri dan kuajak Dina dengan susah payah kembali ke
rumahnya, untuk diobati.
Setelah Dina diobati, Dina menatap ke arahku sambil menahan isak
tangis, “Terima kasih, ya, Hani, atas pertolonganmu. Dan aku minta maaf
karena selama ini tak memaafkanmu. Membuatmu sedih.”
“Tidak apa-apa, Din. Aku ikhlas menolongmu karena kamu adalah sahabatku,
dan aku sangat senang kamu bisa memaafkan kesalahanku. Akhirnya, beban
yang menggumpal di hatiku ini sudah lenyap.”
Aku tersenyum setelah mengucapkan kata-kata itu. sungguh, aku sangat
senang bisa bersahabat kembali dengan Dina. Dan itulah yang kusebut
sahabat, seseorang yang`kan selalu ada buatmu, walaupun ia telah
menyakiti hatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar